Google

Rabu, 24 September 2008

PENDIDIKAN LUAR BIASA DULU DAN SEKARANG

A. Pengertian Pendidikan Luar Biasa
Dalam Encyclopedia of Disability (2006:257) tentang pendidikan luar biasa dikemukakan sebagai berikut: “Special education means specifically designed instruction to meet the unique needs of a child with disability”. Pendidikan luar biasa berarti pembelajaran yang dirancang secara khusus untuk memenuhi kebutuhan yang unik dari anak dengan kelainan.
Ketika seorang anak diidentifikasi mempunyai kelainan, pendidikan luar biasa sewaktu-waktu diperlukan. Hal itu dikemukakan karena siswa penyandang cacat tidak secara otomatis memerlukan pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa akan sesuai hanya apabila kebutuhan siswa tidak dapat diakomodasi dalam program pendidikan umum. Singkat kata, pendidikan luar biasa adalah program pembelajaran yang disiapkan untuk memenuhi kebutuhan unik dari individu siswa. Mungkin dia memerlukan penggunaan bahan-bahan, peralatan, layanan, dan/atau strategi mengajar yang khusus. Sebagai contoh, seorang anak yang kurang lihat memerlukan buku yang hurufnya diperbesar; seorang siswa dengan cacat fisik mungkin memerlukan kursi dan meja belajar yang dirancang khusus; seorang siswa dengan kesulitan belajar mungkin memerlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang lain, seorang siswa dengan kelainan pada aspek kognitifnya mungkin akan memperolah keuntungan dari pembelajaran kooperatif yang diberikan oleh satu atau beberapa guru umum bersama-sama dengan guru pendidikan luar biasa. Pendidikan luar biasa merupakan salah satu komponen dalam salah satu sistem pemberian layanan yang kompleks dalam membantu individu untuk mencapai potensinya secara maksimal.
Pendidikan luar biasa diibaratkan sebagai sebuah kendaraan dimana siswa penyandang cacat, meskipun berada di sekolah umum, diberi garansi untuk mendapatkan pendidikan yang secara khusus dirancang untuk membantu mereka mencapai potensi maksimalnya.
Pendidikan luar biasa tidak dibatasi oleh tempat khusus. Pemikiran kontemporer menyarankan bahwa layanan sebaiknya diberikan di lingkungan yang lebih alamiah dan normal yang sesuai dengan kebutuhan anak. Seting seperti itu bisa dilakukan dalam bentuk program layanan di rumah bagi anak-anak prasekolah penyandang cacat, kelas khusus di sekolah umum, atau sekolah khusus untuk siswa-siswa yang gifted dan berbakat. Pendidikan luar biasa bisa diberikan di kelas-kelas pendidikan umum.
Individu-individu penyandang cacat hendaknya dipandang sebagai individu yang sama bukannya berbeda dari teman-teman sebaya lainnya. Juga harus selalu diingat, bahwa pandanglah mereka sebagai pribadi bukan kecacatannya, dan pusatkan perhatian pada apa yang dapat mereka lakukan daripada pada apa yang tidak dapat mereka lakukan.


B. Sejarah
Yang mendasari sikap masyarakat dunia sekarang ini terhadap individu penyandang cacat adalah berbagai upaya yang telah dilakukan oleh para philosof, aktivis, dan humanitarian Eropa. Dedikasi mereka sebagai pembaharu dan rintisan pemikirannya menjadikan mereka sebagai katalisator perubahan. Para ahli sejarah pendidikan biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar biasa pada akhir abad ke-delapan belas atau awal abad ke-sembilan belas.
Salah satu dokumen yang pertama kali mencoba menggambarkan pendidikan luar biasa adalah upaya yang dilakukan oleh seorang dokter Perancis bernama Jean Marc-Gaspard Itard (1775-1838) dengan mendidik Victor anak berusia 12 tahun, yang selanjutnya disebut “anak liar dari Aveyron”. Menurut cerita rakyat, Victor ditemukan oleh sekelompok pemburu di hutan dekat kota Aveyron. Ketika ditemukan, dia tidak berpakaian, tidak berbahasa, berlari tapi tidak berjalan, dan menunjukkan perilaku seperti binatang. Itard, sebagai ahli penyakit telinga dan mengajar anak-anak muda dengan ketunarunguan, mencoba pada tahun 1799 “mendidik” Victor. Dia mencoba mengajar Victor melalui program latihan sensori dan apa yang sekarang ini disebut modifikasi perilaku. Karena kedewasaannya tersebut Itard tidak berhasil mengembangkan bahasa secara utuh setelah lima tahun dedikasinya dan seluruh pembelajarannya, dan hanya terbiasa dengan keterampilan dasar sosial dan menolong diri. Itard menganggap usahanya tersebut gagal. Tetapi kemudian dia mampu menunjukkan bahwa belajar masih memungkinkan bagi individu yang digambarkan tidak mempunyai harapan dan idiot. Gelar “Bapak Pendidikan Luar Biasa” tepat diberikan kepada Itard karena inovasi pekerjaanya pada 200 tahun yang lalu.
Pionir yang berpengaruh lainnya adalah murid Itard bernama Edouard Seguin (1812-1880). Dia mengembangkan program pembelajaran bagi anak muda yang oleh para ahli lainnya diidentifikasi tidak mempunyai kemampuan untuk belajar. Seperti halnya sang mentor Itard, Seguin dipengaruhi oleh pentingnya aktifitas sensorimotor sebagai alat bantu untuk belajar. Metodologinya berdasar pada asesmen yang komprehensif dari kekuatan dan kelemahan siswa bersamaan dengan pembuatan perencanaan secara berhati-hati latihan sensomotor yang dirancang untuk remediasi kelainan khusus. Seguin juga merealisasikan nilai pendidikan usia dini; dia disebut sebagai orang yang pertama dalam melakukan intervensi dini. Ide dan teori Seguin, yang dia gambarkan dalam bukunya berjudul Idiocy and Its Treatment by the Physiological Method, merupakan dasar untuk Maria Montessori melakukan pekerjaan kemudian dengan urban yang miskin dan anak-anak dengan ketunagrahitaan.
Pekerjaan Itard, Seguin, dan para pembaharu lainnya pada waktu itu membantu mewujudkan dasar-dasar untuk banyak praktek dewasa ini dalam pendidikan luar biasa. Contoh dari berbagai kontribusi tersebut termasuk di dalamnya pembelajaran individual, penggunaan teknik reinforcement positif, dan keyakinan bahwa semua anak dapat belajar.
Pada tahun 1948, Seguin berimigrasi ke Amerika Serikat, dimana dalam beberapa tahun kemudian dia membantu mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan nama American Association on Mental Retardation. Seorang Amerika, Reverend Thomas Hopkins Gallaudet (1787-1851) melakukan perjalanan ke Eropa, dimana dia belajar tentang teknik-teknik yang mutakhir dan inovasi untuk mengajar anak-anak tunarungu. Setelah dia kembali ke negaranya, dia berusaha membantu untuk mendirikan American Asylum for the Education of the Deaf and Dumb di Hartford, Conecticut. Fasilitas ini didirikan pada tahun 1817, merupakan sekolah berasrama yang pertama di Amerika Serikat dan sekarang ini dikenal dengan sebutan American School for the Deaf, Universitas Gallaudet, merupakan lembaga pendidikan seni bagi siswa dengan ketunarunguan, nama tersebut diperuntukkan bagi kontribusinya.
Berikut ini ringkasan pekerjaan yang dilakukan oleh para pemikir dan aktifis Eropa dan Amerika yang berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan luar biasa.

Para Pionir yang Berkontribusi padaPengembangan Pendidikan Luar Biasa (Gargiulo, 2006)
Jacob Rodrigues Pereine 1715 – 1718
Memperkenalkan pemikirannya bahwa orang-orang dengan ketunarunguan dapat diajari berkomunikasi. Mengembangkan bentuk awal dari bahasa isyarat. Memberikan inspirasi dan dorongan untuk pekerjaan Itard dan Seguin.
Phillippe Pinel 1775 – 1826
Seorang dokter Perancis yang mempunyai perhatian terhadap perawatan humanitarian individu dengan sakit mental. Mendukung pelepasan pasien dari institusi yang membelenggunya. Sebagai pionir dalam occupational therapy. Berperan sebagai mentor Itard.
Jean Marc-Gaspard Itard 1775 – 1838
Seorang dokter Perancis yang kemudian menjadi terkenal karena upaya yang sistematisnya dalam mendidik dewasa yang diperkirakan tunagrahita berat. Menemukan pentingnya stimulasi sensori.
Thomas Gallaudet 1787 – 1851
Mengajari anak-anak dengan ketunarunguan berkomunikasi mempergunakan sistem isyarat manual dan simbol. Mendirikan lembaga yang pertama di Amerika.
Samuel Gridley Howe 1801 – 1876
Seorang dokter Amerika dan pendidik yang menjadi terkenal secara internasional karena keberhasilannya dalam mengajar individu dengan ketunanetraan dan ketunarunguan. Mendirikan fasilitas berasrama yang pertama bagi tunanetra dan aktif memberikan penghargaan pada lembaga pemerhati anak-anak dengan ketunagrahitaan.
Dorothea Lynde Dix 1802 – 1887
Dix merupakan orang Amerika pertama yang meraih juara terbaik dan menangani lebih manusiawi mereka yang sakit mental. Berinisiatif mendirikan berbagai institusi bagi individu-individu dengan kelainan mental.
Louis Braille 1809 – 1852
Seorang pendidik Perancis, tunanetra, yang mengembangkan sistem perabaan untuk membaca dan menulis bagi orang tunanetra. Sistem dia, berdasar pada sel berupa enam buah titik timbul, yang masih dipergunakan sampai sekarang. Kode yang baku ini dikenal sebagai Braille Inggris Standar.
Edouard Seguin 1812 – 1880
Murid dari Itard, Seguin merupakan seorang dokter Perancis yang bertanggung jawab dalam mengembangkan metoda mengajar bagi anak-anak dengan ketunagrahitaan. Latihannya menekankan pada aktifitas sensomotoris. Setelah berimigrasi ke Amerika Serikat, dia membantu mendirikan organisasi yang disebut American Association on Mental Retardation.
Francis Galton 1822 – 1911
Ilmuwan yang konsern dengan perbedaan individu. Sebagai hasil dari mempelajari orang terkenal, dia percaya bahwa kejeniusan hanya sebagai hasil dari keturunan. Bahwa kemampuan superior adalah dilahirkan bukan dibuat.
Alexander Graham Bell 1847 – 1922
Pionir pendukung mendidik anak-anak dengan kelainan di sekolah umum. Sebagai seorang guru bagi siswa dengan ketunarunguan. Bell memperkenalkan penggunaan sisa pendengaran dan mengembangkan keterampilan berbicara pada siswa dengan ketunarunguan.
Alfred Binet 1857 – 1911
Psikolog Prancis yang mengkontruksi pertama kali skala asesmen perkembangan standar yang mampu menentukan angka inteligensi. Tujuan orisinil dari tes ini adalah mengidentifikasi siswa yang mempunyai kemungkinan keuntungan dari pendidikan luar biasa dan bukan mengklasifikasikan individu berdasar pada kemampuannya. Juga menemukan usia mental dengan siswanya Theodore Simon.
Maria Montessori 1870 – 1952
Dikenal di seluruh dunia untuk kepionirannya bekerja dengan anak-anak muda dengan ketunagrahitaan. Perempuan pertama yang memperoleh gelar dokter di Itali. Ahli dalam bidang pendidikan anak usia dini. Menunjukkan bahwa anak-anak mampu untuk belajar pada usia sangat awal kalau dikelilingi oleh bahan-bahan manipulatif dalam lingkungan yang kaya dan mendukung. Keyakinannya bahwa anak-anak belajar dengan baik melalui pengalaman langsung sensoris.
Lewis Terman 1877 – 1956
Seorang pendidik Amerika dan psikolog yang merevisi instrumen asesmen asli Binet. Hasilnya berupa publikasi Stanford-Binet Simon Scale of Intelligence pada tahun 1916. Terman mengembangakn ide tentang intelligence quotient, atau IQ. Juga terkenal untuk studi jangka panjangnya tentang individu-individu gifted. Disebut sebagai kakeknya pendidikan anak-anak gifted.


Di Indonesia, sejarah perkembangan pendidikan luar biasa dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia (1596-1942), mereka memperkenalkan sistem persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak penyandang cacat dibuka lembaga-lembaga khusus. Lembaga pertama untuk pendidikan anak tunanetra dibuka pada tahun 1901, untuk anak tunagrahita tahun 1927, dan untuk anak tunarungu tahun 1930, ketiganya di Bandung.
Tujuh tahun setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mengundangkan undang-undang yang pertama mengenai pendidikan. Mengenai anak-anak yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, undang-undang itu menyebutkan: Pendidikan dan pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal 6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut terkena pasal 8 yang mengatakan : semua anak-anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah sedikitnya 6 tahun. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut maka sekolah-sekolah baru yang khusus bagi anak penyandang cacat, termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras, dibuka. Sekolah-sekolah ini disebut sekolah luar biasa (SLB).
Sebagian berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan, SLB-SLB itu dikelompokkan menjadi: (1) SLB bagian A untuk anak tunanetra, (2) SLB bagian B untuk anak tunarungu, (3) SLB bagian C untuk anak tunagrahita, (4) SLB bagian D untuk anak tunadaksa, (5) SLB bagian E untuk anak tunalaras, dan (6) SLB bagian G untuk anak cacat ganda. Eko (2006) mengemukakan bahwa dari jumlah keseluruhan 1.48 juta yang dikategorikan berkelainan, 21.42% merupakan anak-anak usia sekolah. Meskipun demikian, hanya 25% atau 79.061 anak yang sekarang ini berada di sekolah luar biasa. Beberapa sekolah luar biasa yang mengakomodasi berbagai jenis kelainan dibangun untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Selain itu dilakukan juga berbagai upaya, salah satunya adalah sosialisasi dan implementasi pendidikan inklusif.
Konsep pendidikan terpadu diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1978 oleh Helen Keller International, Inc. Ketika itu HKI membantu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan membuka sekolah terpadu bagi anak tunanetra. Keberhasilan proyek itu menyebabkan dikeluarkannya SK Mendikbud nomor 002/U/1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat, yang pada intinya mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan dapat diterima bersekolah di sekolah reguler.
Sayangnya, setelah proyek pendidikan terpadu itu berakhir, implementasi pendidikan terpadu itu semakin mundur, terutama di tingkat sekolah dasar. Akan tetapi menjelang akhir tahun 90-an muncul upaya baru untuk mengembangkan pendidikan inklusif melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dengan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Dengan implementasi pendidikan inklusif diharapkan lebih banyak anak berkebutuhan khusus usia sekolah akan mendapatkan kesempatan bersekolah.
Pendidikan guru untuk PLB yang pertama, Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB), didirikan di Bandung pada tahun 1952, dengan lama pendidikan dua tahun. Pada mulanya SGPLB diperuntukkan bagi guru-guru yang sudah berpengalaman mengajar di SD dan berizasah SGB. Dalam perkembangan selanjutnya, input SGPLB adalah tamatan SLTA, dan lulusannya dihargai sejajar dengan sarjana muda. Ketika SGPLB dilikuidasi pada tahun 1994, di seluruh Indonesia terdapat enam SGPLB (Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Surakarta, Makasar dan Padang). Likuidasi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan kualifikasi guru PLB menjadi sekurang-kurangnya berizasah S1.
Program S1 PLB yang pertama di Indonesia dibuka di IKIP Bandung (sekarang UPI) pada tahun 1964. Beberapa tahun kemudian beberapa IKIP dan perguruan tinggi lain juga membuka jurusan PLB. Kini sembilan universitas di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, memiliki jurusan PLB.
Pada tahun 1996 UPI membuka konsentrasi Bimbingan Anak Khusus pada program studi Bimbingan dan Penyuluhan di Program Pasca-Sarjana sebagai upaya merintis dibukanya program studi PLB pada jenjang S2. Pada tahun 2004 program studi ini menjadi mandiri dengan nama Program Studi Inklusi dan Pendidikan Kebutuhan Khusus.


C. Kebijakan
Seluruh warganegara tanpa terkecuali apakah dia mempunyai kelainan atau tidak, mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini dijamin oleh UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 yang mengemukakan, bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
Pada tahun 2003 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam undang-undang tersebut dikemukakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, sebagai berikut:
1. Bab I Pasal 1 (18) Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
2. Bab III Pasal 4 (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
3. Bab IV Pasal 5 (1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, (2) Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, (3) Warganegara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, (4) Warganegara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, dan (5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Pasal 6 (1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 11 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, dan (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.
4. Bab V Pasal 12 (1) huruf b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, huruf d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya, huruf e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara, dan huruf f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
5. Bab VI Pasal 15 Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.
6. Bab VI, Bagian Kesebelas, Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus, Pasal 32 (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
7. Bab VIII Pasal 34 (1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar, (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, (3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, dan (4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
8. Bab X Pasal 36 (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dikemukakan berbagai ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan luar biasa, baik untuk tingkat SDLB, SMPLB, maupun SMALB.
Selain dari beberapa perundangan dan peraturan yang dikemukakan di atas, masih ada kebijakan-kebijakan lainnya yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus, salah satunya adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa yang dituangkan dalam bentuk visi dan misi sebagai berikut:
VISITerwujudnya pelayanan yang optimal bagi anak berkebutuhan khusus sehingga dapat mandiri dan berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
MISI
- Memperluas kesempatan bagi semua anak berkebutuhan khusus melalui program segregasi, terpadu dan inklusi
- Meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan luar biasa dalam hal pengetahuan, pengalaman, atau ketrampilan yang memadai.
- Meningkatkan kemampuan manajerial para pengelola, pembina, pengawas, guru, dan tenaga pendidikan lainnya.
- Memperluas jejaring (network) dalam upaya mengembangkan dan mensosialisasikan pendidikan luar biasa. (Dit. PSLB, 2006)

Berbagai kebijakan yang berhubungan dengan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus tidak hanya yang bersifat regional dan nasional, tetapi juga yang bersifat internasional. Beberapa diantaranya adalah:
- 1948 Deklarasi tentang Hak Azasi Manusia – termasuk di dalamnya hak pendidikan dan partisipasi penuh bagi semua orang – PBB.
- 1989 Konvensi tentang Hak Anak (PBB, dipublikasikan tahun 1991)
- 1990 Pendidikan untuk Semua: Konferensi dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien, Thailand yang menyatakan bahwa: (1) memberi kesempatan kepada semua anak untuk sekolah, dan (2) memberikan pendidikan yang sesuai bagi semua anak. Dalam kenyataannya pernyataan tersebut belum termasuk di dalamnya anak luar biasa (UNESCO, dipublikasikan tahun 1991 dan 1992)
- 1993 Peraturan Standar tentang Kesamaan Kesempatan untuk Orang-orang penyandang cacat (PBB, dipublikasikan tahun 1994)
- 1994 Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusif (UNESCO, dipublikasikan tahun 1994, laporan terakhir tahun 1995)
- 2000 Kesepakatan Dakar tentang Pendidikan untuk Semua (UNESCO).

Pada bulan Oktober 2002 kelompok kerja Asia dan Pasifik meluncurkan Aksi Biwako Millenium Framework (BMF) sebagai kerangka kerja regional untuk panduan negara-negara di Asia Timur dan Pasifik yang dalam pelaksanaannya diperluas menjadi Asia Pasifik untuk 10 tahun yang akan datang. BMF mengidentifikasi tujuh prioritas sebagai berikut: (1) organisasi swadaya penyandang cacat dan asosiasi keluarga dan orang tua, (2) perempuan penyandang cacat, (3) deteksi dini, intervensi dini, dan pendidikan, (4) pelatihan dan penempatan kerja, termasuk wirausaha, (5) akses dalam lingkungan dan transportasi, (6) akses dalam informasi dan komunikasi, termasuk teknologi informasi, komunikasi dan alat bantu, serta (7) mengurangi kemiskinan melalui Capacity-Building, keamanan sosial, dan program kehidupan berkelanjutan (Takamine, Y., 2004)


D. Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa
Berikut ini akan dikemukakan beberapa kecenderungan yang secara signifikan mempengaruhi pendidikan luar biasa dewasa ini.

Pendidikan Inklusif
Tidak ada topik dalam pendidikan luar biasa yang mempunyai dampak yang luas atau mengakibatkan banyaknya kontroversi selain inklusi. Banyak definisi tentang inklusi bermunculan, kebanyakan dari definisi tersebut berfokus pada seting dimana para siswa dengan kelainan menerima pendidikan mereka. Inklusi adalah suatu sistem yang dapat saling membagi diantara setiap anggota sekolah sebagai masyarakat belajar – guru, administrator, staf lainnya, siswa, dan orang tua – tentang tanggung jawabnya untuk mendidik semua siswa sehingga mereka dapat mencapai potensinya semaksimal mungkin. Meskipun lokasi fisik siswa di sekolah atau kelas ada dalam satu dimensi inklusifitas, inklusi bukan tentang dimana siswa duduk seperti halnya teman sekelasnya yang menerima mereka untuk sama-sama mendapatkan akses kuriklum dan menerima keanekaragaman siswa, di dalam sekolah sekarang dikatakan tidak ada pendekatan tunggal yang cocok untuk semua anak. Inklusi meliputi para siswa yang gifted dan berbakat, mereka yang mempunyai resiko kegagalan karena lingkungan hidup mereka, mereka yang berkelainan, dan mereka yang mempunyai prestasi rata-rata. Inklusi adalah suatu sistem yang dipercaya dapat terwujud apabila ada pemahaman dan penerimaan dari semua staf.
Beberapa ahli mengatakan bahwa hanya dengan cara ini sekolah dapat menunjukkan sistem inklusif dimana seluruh siswa dapat berpartisipasi penuh dalam pendidikan umum. Menurut mereka tanpa dengan pendekatan ini sebagian anak akan terpisah selama-lamanya karena mereka tidak dapat terpenuhi standar akademik sebagaimana mestinya. Mereka juga mengemukakan, bahwa para siswa berada di sekolah baik mengikuti kurikulum eksplisit maupun implisit. Kurikulum eksplisit adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya yang tidak dapat diakses oleh para siswa yang berkelainan, sedangkan kurikulum implisit adalah kurikulum yang termasuk di dalamnya interaksi sosial dan berbagai keterampilan yang sangat baik dipelajari bersama-sama dengan siswa pada umumnya. Para ahli meyakinkan bahwa dengan guru yang kompeten, dukungan dan layanan yang mencukupi, serta komitmen yang kuat dapat menjamin setiap siswa berhasil dengan tidak memerlukan tempat pendidikan yang terpisah. Para ahli tersebut menyarankan bahwa banyak siswa yang memerlukan kelas dengan ukuran lebih kecil, metoda pembelajaran khusus, dan untuk sebagian siswa perlu adanya kurikulum yang lebih menekankan pada keterampilan hidup yang dapat diberikan dalam kelas khusus untuk sebagian atau pun seluruh waktu sekolah.

Akuntabilitas dan Aksesibilitas Pembelajaran
Akuntabilitas untuk pembelajaran dewasa ini juga dilihat dari adanya akses anak dengan kelainan terhadap kurikulum yang dipergunakan oleh anak-anak pada umumnya. Meskipun pada waktu dulu, para ahli umumnya berpikiran bahwa kebanyakan siswa dengan kelainan hendaknya mempunyai kurikulum yang khusus dirancang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka, tetapi pada umumnya sekarang mereka mendukung bahwa semua siswa dengan kelainan sedekat mungkin hendaknya belajar dari kurikulum yang sama dipergunakan oleh siswa yang lain dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Hal tersebut merupakan suatu keseimbangan yang logis dalam prinsip-prinsip inklusi: Jika tujuan pendidikan bagi siswa adalah keberhasilan usia dewasa nanti untuk dapat hidup, bekerja, dan bermain di dalam masyarakat kita, maka cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan meyakinkan bahwa seluruh anak mestinya mempunyai akses yang sama terhadap belajar awal secepat mungkin ketika mereka masuk sekolah. Apabila kurikulum tidak sama, siswa dengan kelainan ditempatkan secara kurang menguntungkan.
Pendekatan pembelajaran untuk melaksanakan tugas-tugas kompleks yang meyakinkan bahwa siswa dengan kelainan mempunyai akses pada kurikulum disebut desain universal untuk pembelajaran. Desain universal ini berasal dari arsitektur, dimana para ahli menyadari bahwa jika pembangunan akses untuk para penyandang cacat dilakukan setelah selesainya bangunan, hasilnya biasanya elevator atau ramp yang jelek. Tetapi ketika akses tersebut diintegrasikan dalam rancangan bangunan sejak awal, maka hal tersebut akan menjadi bagian yang sama dari struktur secara keseluruhan, malahan mungkin akan memperindah bangunan atau bisa dinikmati oleh masyarakat lain pada umumnya. Penerapannya dalam pendidikan, desain universal ini, adalah guru hendaknya merancang pembelajaran sejak dini untuk memenuhi tingkat keanekaragaman siswa daripada membuat penyesuaian setelah mereka melakukan pembelajaran. Apabila para guru melakukan hal ini, mereka biasanya akan menemukan bahwa para siswa yang mempunyai kekhususan dan memerlukan pembelajaran khusus dapat memperoleh keuntungan dari upaya yang mereka lakukan.
Meskipun desain universal ini dapat dipergunakan dalam kebutuhan pembelajaran khusus bagi siswa berkelainan dalam seting sekolah umum, tetapi pendidikan luar biasa juga mempunyai pembelajaran khusus sebagai ciri, dan siswa memerlukannya. Misalnya, banyak pandangan terhadap bagaimana siswa belajar membaca. Bagi siswa dengan kesulitan yang bergelut dengan membaca, para ahli dengan jelas telah menemukan bahwa anak-anak seperti ini sering mempunyai masalah dalam mendengar pemisahan ucapan kata-kata dan membeda-bedakan kata-kata tersebut. Jadi penekanan bagi anak seperti ini adalah dalam penggunaan pendekatan membaca dalam seting satu lawan satu atau kelompok kecil yang intensif.
Dimensi lain dari akuntabilitas dan aksesibilitas pembelajaran adalah penggunaan alat bantu teknologi, yang merupakan alat dan layanan yang dapat meningkatkan kemampuan fungsi siswa dengan kelainan. Ketika anda bekerja di sekolah, anda mungkin akan melihat siswa menggunakan alat bantu komunikasi khusus, bola yang bisa berbunyi bagi siswa tunanetra, atau alat-alat yang lainnya. Alat bantu teknologi tidak selalu berupa elektronik, tetapi juga termasuk di dalamnya membantu siswa dengan alat pemegang pensil khusus sehingga dia bisa menulis secara lebih mudah, gambar-gambar buatan guru yang dapat ditempelkan di jadwal untuk menunjukan kegiatan siswa yang akan dilakukan selama satu hari itu, dan sebagainya.

Dukungan Perilaku yang Positif
Beberapa anak dengan kelainan mempunyai perilaku yang mengganggu atau tidak berperilaku secara sesuai dengan teman-teman pada umumnya di dalam kelas. Misalnya seorang siswa yang mempunyai kesulitan dalam menemukan kata-kata yang benar untuk mengatakan maksudnya meminta bantuan, mungkin akan mengekspresikan rasa frustrasinya dengan mendorong temannya. Dulu perilaku tersebut dianggap sebagai suatu bentuk konsekuensi negatif. Kenyataan dewasa ini sangat berbeda. Sekarang para ahli mempergunakan dukungan perilaku positif yang terintegrasi dalam perencanaan intervensi perilaku. Mereka melihat perilaku siswa dalam konteks situasi dimana hal itu terjadi, secara hati-hati menentukan apa yang terjadi dalam rangka merancang cara untuk mengurangi perilaku negatif, meningkatkan perilaku yang diinginkan, dan membantu siswa memiliki kualitas akademik dan sosial yang lebih baik dalam kehidupannya. Di dalam contoh dimana seorang siswa mendorong temannya, para ahli akan menganalisis masalah serius tersebut, dan memahaminya dengan baik, kemudian mereka akan menentukan intervensinya. Mereka mungkin akan mencoba mencegah rasa frustrasi siswa dengan memberikan penugasan yang tidak terlalu sulit atau dengan kata lain membantu siswa untuk terhindar dari situasi frustrasi. Mereka juga mungkin mengajarkan kepada para siswa cara terbaik untuk mengekspresikan rasa frustrasinya, mungkin dengan mengajarkan kepada siswa untuk mengatakan „Tolong saya....“ dan memberikan penghargaan kepada siswa untuk perilaku yang sesuai atau dapat diterima. Mereka juga bekerja bersama-sama dengan orang tua dalam merancang program perilaku siswa, sehingga ada konsistensi antara pendekatan di sekolah dan di rumah.

Kolaborasi
Jika anda berpikir konsep inklusi sebagai penciptaan masyarakat pembelajar, dimana pembelajaran dirancang secara khusus dan merespon kebutuhan siswa, anda mungkin akan memperkirakan bahwa keberhasilan pendidikan inklusif akan bergantung pada pekerjaan guru dan orang tua secara bersamaan. Tidaklah mengejutkan, bahwa kolaborasi menjadi suatu dimensi yang krusial dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pendidikan luar biasa serta layanan lainnya. Kolaborasi berhubungan dengan cara dimana para ahli berhubungan dengan yang lainnya dan orang tua atau anggota keluarga seperti mereka bekerja bersama-sama dalam mendidik siswa dengan kelainan. Kolaborasi bukanlah sebagai tujuan, tetapi sebagai alat untuk meningkatkan tujuan yang akan dicapai.

Sabtu, 20 September 2008

KETUNANETRAAN

A. Definisi Tunanetra

Pengetahuan tentang definisi tunanetra sangat diperlukan oleh seorang pendidik untuk mengembangkan program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak. Batasan secara legal telah banyak dipergunakan dalam mendefinisikan ketunanetraan. Dalam pendefinisian ini biasanya digunakan kartu Snellen, yang biasanya dipergunakan dalam pemeriksaan klinis tentang ketajaman penglihatan dalam suatu kondisi tertentu. Selain batasan legal, ada juga batasan-batasan lainnya yang disesuaikan dengan tujuannya.

Seseorang dikatakan buta secara legal apabila ketajaman penglihatannya 20/200 atau kurang pada mata yang terbaik setelah dikoreksi, atau lantang pandangnya tidak lebih besar dari 20 derajat. Dalam definisi ini, 20 feet adalah jarak dimana ketajaman penglihatan diukur. Sedangkan 200 dalam definisi ini menunjukkan jarak dimana orang dengan mata normal dapat membaca huruf yang terbesar pada kartu snellen. Bagian yang kedua dari definisi tersebut berhubungan dengan adanya keterbatasan pada lantang pandang, merupakan kemampuan seseorang untuk melihat objek ke arah samping. Batasan legal ini dipertimbangkan penggunaannya dalam pendidikan, tetapi kalau tidak dengan pertimbangan yang lain, maka hasil pengukuran tersebut hanya memberikan kontribusi yang kecil dalam perencanaan program pendidikan bagi anak-anak tunanetra.

Seseorang dikatakan buta apabila mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran utama dalam belajar. Mereka mungkin mempunyai sedikit persepsi cahaya atau persepsi bentuk atau sama sekali tidak dapat melihat (buta total).

Seseorang dikatakan buta secara fungsional apabila saluran utama yang dipergunakanya dalam belajar adalah perabaan atau pendengaran. Mereka dapat mempergunakan sedikit sisa penglihatannya untuk memperoleh informasi tambahan dari lingkungan. Orang seperti ini biasanya mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.

Seseorang dikatakan menyandang low vision atau kurang lihat apabila ketunanetraannya masih memungkinkannya memfungsikan indera penglihatannya dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama yang dipergunakanya dalam belajar adalah penglihatan dengan mempergunakan alat bantu, baik yang direkomendasikan oleh dokter maupun bukan. Jenis huruf yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.

Nakata (2003) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan tunanetra adalah mereka yang mempunyai kombinasi ketajaman penglihatan hampir kurang dari 0.3 (60/200) atau mereka yang mempunyai tingkat kelainan fungsi penglihatan yang lainnya lebih tinggi, yaitu mereka yang tidak mungkin atau berkesulitan secara signifikan untuk membaca tulisan atau ilustrasi awas meskipun dengan mempergunakan alat bantu kaca pembesar. Pengukuran ketajaman penglihatan dilakukan dengan mempergunakan international chart yang disebut Eyesight-Test.

B. Penyebab Terjadinya Ketunanetraan

Penyebab ketunanetraan sangat bervariasi tergantung lokasi geografis, status sosioekomi, dan usia. Secara umum sebetulnya bisa dicegah dan diatasi. Trachoma merupakan penyebab utama timbulnya kebutaan di negara-negara berkembang. Banyak organisasi yang berhubungan dengan kesehatan mempunyai program pencegahan kebutaan. Mereka bekerja di perkampungan dan daerah-daerah miskin dengan tujuan untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan, kesehatan, dan akses untuk memperoleh pengobatan. Diabetes, glaucoma, dan katarak merupakan penyebab umum kebutaan di negara-negara barat. Hal ini terjadi karena usia harapan hidup mereka lebih panjang dari generasi sebelumnya; usia berhubungan dengan penurunan daya penglihatan.

Ketika bekerja dengan tunanetra, penting untuk dipahami apa yang terjadi apabila ada bagian dari sistem penglihatan yang tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Cahaya masuk melalui cornea, bagian ini jernih dan transparan menutupi bagian depan dari mata. Cornea berbentuk cembung dan memberikan perlindungan terhadap bola mata bagian dalam. Cornea membantu memfokuskan gambar yang disampaikan ke otak. Apabila cornea rusak, apakah diakibatkan oleh kecelakaan atau penyakit, dan tidak segera ditangani sehingga bagian dalam mata terinfeksi, maka hal tersebut akan menyebabkan kebutaan yang permanen dan mungkin buta total.

Setelah cahaya melewati cornea, kemudian akan masuk ke bagian berikutnya yaitu yang disebut bilik depan; bagian ini berisi aqueous humor (cairan aqueous). Cairan ini membawa masuk gizi dan membuang sampah yang ada di bagian belakang dari cornea. Cairan ini juga berfungsi untuk menjaga bentuk bola mata. Penyakit utama pada cairan ini adalah yang disebut Glaucoma, yang dapat menyebabkan hilangnya ketajaman penglihatan atau lantang pandang. Siswa dengan glaucoma biasanya disertai dengan sakit kepala dan memerlukan waktu yang sering untuk beristirahat. Siswa juga mungkin memerlukan perawatan dokter untuk menangani penyakit ini.

Bagian berikutnya dari mata setelah melewati bilik depan adalah iris. Iris ini berwarna, terdiri dari otot yang melingkar dan berfungsi untuk mengontrol jumlah cahaya yang masuk ke mata dengan cara mengatur besar kecilnya ukuran pupil.

Pupil adalah bagian yang terbuka pada iris dimana cahaya masuk ke dalam mata. Jika iris tidak berfungsi dengan baik, maka fungsi kontrol cahaya tidak ada, menyebabkan siswa menjadi photophobic (sensitif terhadap cahaya). Siswa mungkin memerlukan kacamata atau alat optic lainnya untuk mengurangi jumlah cahaya yang masuk ke retina. Bekerja dengan jarak dekat dapat menyebabkan rasa lelah dan kabur pada mata. Untuk siswa seperti ini biasanya diperlukan latihan orientasi dan mobilitas. Guru harus menyadari anak-anaknya yang mempunyai kelainan pada iris dan hendaknya segera mereferalnya ke dokter.

Berikutnya adalah lensa. Lensa bentuknya oval, bening, dan transparan letaknya berada dibagian belakang iris. Fungsi dari lensa adalah sebagai filter dan penyaring cahaya sebelum sampai ke bagian belakang dari mata. Katarak merupakan pengeruhan yang terjadi pada lensa, biasanya diakibatkan oleh kecelakaan atau usia. Anak-anak dengan katarak bawaan biasanya bisa dioperasi. Jika memungkinkan operasi ini dilakukan sedini mungkin untuk memberikan kemungkinan perkembangan penglihatan yang lebih baik. Apabila lensa tidak ada, maka mata akan kelihatan datar (aphakic) dan cahaya tidak akan dapat tersaring secara sempurna. Anak mungkin akan sensitif terhadap cahaya dan akan mengeluh karena pencahayaan. Cahaya yang redup diperlukan untuk anak seperti ini. Mungkin deperlukan waktu tambahan untuk beralih dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya untuk menyesuaikan terhadap perubahan cahaya. Katarak biasanya diasosiasikan dengan Down syndrome, Marfan’s syndrome, dan rubella.

Di belakang lensa, cahaya harus melewati cairan jernih berbentuk jelly (vitreous body). Cairan yang tebal ini berfungsi sebagai filter untuk cahaya dan menjaga bentuk bola mata. Pada penderita diabetes, bagian ini sering berisi partikel atau tissue sebagai akibat dari adanya pendarahan dari vascular, hal ini dapat berpengaruh pada penglihatan, biasanya pada penglihatan samping atau penglihatan sentral. Anak-anak dengan gangguan pada bagian ini akan melihat objek menjadi kabur dan tidak jelas serta menimbulkan kesulitan dalam membaca dan melihat benda dari jarak tertentu.

Setelah melewati cairan vitreous, kemudian cahaya menuju ke retina. Retina letaknya berada paling belakang dari bola mata, berisi lapisan yang sangat sensitif terhadap cahaya. Bagian ini merupakan daerah yang mengirimkan cahaya ke syaraf penglihatan (optic nerve) untuk selanjutnya diteruskan ke otak, dimana otak menginterpretasikan gambaran visual menjadi apa yang kita kenal melalui penglihatan. Kelainan pada retina menyebabkan penglihatan yang kabur. Tidak seperti penyakit mata lainnya yang berhubungan dengan rasa sakit, gangguan pada retina tidak menyebabkan rasa sakit atau menimbulkan gejala lain pada bagian lainnya seperti rasa sakit atau warna merah pada mata.

Di retina ada sel-sel photoreceptive yang disebut dengan sel batang (rod) dan sel kerucut (cone). Sel batang posisinya berada di bagian luar dari retina, dan sangat sensitif terhadap cahaya. Sel ini bertugas untuk melihat bentuk dan gerakan, dan akan berfungsi dengan baik apabila berada dalam cahaya yang redup. Sel batang ini tidak responsif terhadap warna. Sel kerucut posisinya berada di bagian tengah dari retina. Warna akan sangat ditentukan pada sel kerucut ini.

Hanya sel kerucut tertentu yang dapat ditemukan di daerah makula, di daerah yang dipergunakan untuk melihat secara sentral, dan fovea, yaitu bagian yang berhubungan dengan ketajaman penglihatan. Macular degenaration merupakan penyakit umum pada orang dewasa, tetapi dapat juga terjadi pada mereka yang masih muda. Penyakit ini biasanya berakibat kerusakan pada bagian tengah dari sel kerucut di retina, sehingga berpengaruh pada penglihatan sentral, sensitifitas cahaya, dan melihat warna.

Berikut ini adalah beberapa contoh kondisi penglihatan dari sekian banyak kasus yang dapat mempengaruhi penglihatan:

l Strabismus. Otot-otot mata tidak dapat menahan kedua bola mata pada posisi yang sejajar.

l Amblyopia. Sebelah mata tidak dapat berkembang penglihatannya atau hilang penglihatannya sebagai akibat dari strabismus.

l Cataract. Pengeruhan pada lensa sehingga tidak dapat meneruskan cahaya secara tepat ke retina.

l Aniridia. Tidak ada iris, sehingga terlalu banyak cahaya masuk ke mata.

l Cortical visual impairment. Kerusakan pada otak yang berhubungan dengan penglihatan sehingga gambar yang diterima oleh mata tidak dapat ditafsirkan dengan benar.

C. Karakteristik Anak dengan Ketunanetraan

Bayangkan ketika seorang anak dengan penglihatan yang normal dapat dengan mudah bergerak di lingkungannya, menemukan mainan dan teman-teman bermainnya, serta melihat dan meniru orang tuanya dalam aktifitas sehari-hari. Anak-anak tunanetra kehilangan saat-saat belajar kritis seperti itu, yang mungkin akan berdampak terhadap perkembangan, belajar, keterampilan sosial, dan perilakunya.

a. Karakteristik Kognitif

Ketunanetraan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini:

    • Tingkat dan keanekaragaman pengalaman. Ketika seorang anak mengalami ketunanetraan, maka pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan pendengaran. Tetapi bagaimanapun indera-indera tersebut tidak dapat secara cepat dan menyeluruh dalam memperoleh informasi, misalnya ukuran, warna, dan hubungan ruang yang sebenarnya bisa diperoleh dengan segera melalui penglihatan. Tidak seperti halnya penglihatan, ketika mengeksplorasi benda dengan perabaan merupakan proses dari bagian ke kesuluruhan, dan orang tersebut harus melakukan kontak dengan bendanya selama dia melakukan eksplorasi tersebut. Beberapa benda mungkin terlalu jauh (misalnya bintang, dan sebagainya), terlalu besar (misalnya gunung, dan sebagainya), terlalu rapuh (misalnya binatang kecil, dan sebagainya), atau membahayakan (misalnya api, dan sebagainya) untuk diteliti dengan perabaan.
    • Kemampuan untuk berpindah tempat. Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi tunanetra mempunyai keterbatasan dalam melakukan gerakan tersebut. Keterbatasan tersebut mengakibatkan keterbatasan dalam memperoleh pengalaman dan juga berpengaruh pada hubungan sosial. Tidak seperti anak-anak yang lainnya, anak tunanetra harus belajar cara berjalan dengan aman dan efisien dalam suatu lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.

o Interaksi dengan lingkungan. Jika anda berada di suatu tempat yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan dimana anda berada, melihat orang-orang disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut. Orang tunanetra tidak memiliki kontrol seperti itu. Bahkan dengan keterampilan mobilitas yang dimilikinya, gambaran tentang lingkungan masih tetap tidak utuh.

b. Karakteristik Akademik

Dampak ketunanetraan tidak hanya terhadap perkembangan kognitif, tetapi juga berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. Sebagai contoh, ketika anda membaca atau menulis anda tidak perlu memperhatikan secara rinci bentuk huruf atau kata, tetapi bagi tunanetra hal tersebut tidak bisa dilakukan karena ada gangguan pada ketajaman penglihatannya. Anak-anak seperti itu sebagai gantinya mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis, sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Mereka mungkin mempergunakan braille atau huruf cetak dengan berbagai alternatif ukuran. Dengan asesmen dan pembelajaran yang sesuai, anak tunanetra tanpa kecacatan tambahan dapat mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti teman-teman lainnya yang dapat melihat.

c. Karakteristik Sosial dan Emosional

Bayangkan keterampilan sosial yang biasa anda lakukan sehari-hari sekarang ini. Apakah seseorang mengajarkan kepada anda bagaimana anda harus melihat kepada lawan bicara anda ketika anda berbicara dengan orang lain, bagaimana anda menggerakan tangan ketika akan berpisah dengan orang lain, atau bagaimana anda melakukan ekspresi wajah ketika melakukan komunikasi nonverbal? Dalam hal seperti itu mungkin jawabannya tidak. Perilaku sosial secara tipikal dikembangkan melalui observasi terhadap kebiasaan dan kejadian sosial serta menirunya. Perbaikan biasanya dilakukan melalui penggunaan yang berulang-ulang dan bila diperlukan meminta masukan dari orang lain yang berkompeten. Karena tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, siswa tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar.

Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, siswa tunanetra harus mendapatkan pembelajaran yang langsung dan sistematis dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang baik, mempergunakan gerakan tubuh dan ekspresi wajah dengan benar, mengekspresikan perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi, serta mempergunakan alat bantu yang tepat.

d. Karakteristik Perilaku

Ketunanetraan itu sendiri tidak menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak, meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Siswa tunanetra kadang-kadang sering kurang memperhatikan kebutuhan sehari-harinya, sehingga ada kecenderungan orang lain untuk membantunya. Apabila hal ini terjadi maka siswa akan berkecenderungan berlaku pasif.

Beberapa siswa tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Sebagai contoh mereka sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar. Ada beberapa teori yang mengungkap mengapa tunanetra kadang-kadang mengembangkan perilaku stereotipnya. Hal itu terjadi mungkin sebagai akibat dari tidak adanya rangsangan sensoris, terbatasnya aktifitas dan gerak di dalam lingkungan, serta keterbatasan sosial. Biasanya para ahli mencoba mengurangi atau menghilangkan perilaku tersebut dengan membantu mereka memperbanyak aktifitas, atau dengan mempergunakan strategi perilaku tertentu, misalnya memberikan pujian atau alternatif pengajaran, perilaku yang lebih positif, dan sebagainya.

D. Pembelajaran bagi Anak dengan Ketunanetraan

Pembelajaran yang terbaik bagi siswa tunanetra adalah yang berpusat pada apa, bagaimana, dan di mana pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhannya itu tersedia.

Pembelajaran khusus yang sesuai dengan kebutuhan siswa adalah tentang apa yang diajarkan, prinsip-prinsip tentang metoda khusus yang ditawarkan dalam konteks bagaimana pembelajaran tersebut disediakan, dan yang terakhir adalah tempat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak dimana pembelajaran akan dilakukan.

* Pembelajaran dalamKkurikulum Inti yang Diperluas.

Para ahli mengemukakan, bahwa tunanetra mempunyai dua perangkat kebutuhan kurikulum: pertama adalah kurikulum yang diperuntukan bagi siswa pada umumnya, seperti: bahasa, seni, matematika, dan IPS; kedua adalah yang dapat memenuhi kebutuhan khususnya sebagai akibat dari ketunanetraannya yaitu kurikulum inti yang diperluas, seperti: keterampilan kompensatoris, keterampilan interaksi sosial, dan keterampilan pendidikan karir. Para ahli pendidikan bagi tunanetra, khususnya mereka yang memberikan bantuan dan mengajar siswa dalam setting inklusi, mungkin akan dihadapkan dengan dilema apa yang akan diajarkan dalam waktu yang terbatas. Mereka sebaiknya mengajarkan langsung kepada siswa tunanetra keterampilan khusus untuk mendukung keberhasilannya berada di sekolah umum.

* Mempergunakan Prinsip-prinsip Metoda Khusus.

Siswa tunanetra hendaknya diberikan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan belajar khusus bagi mereka. Guru umum biasanya lebih menekankan pembelajaran melalui saluran visual, yang sudah tentu tidak sesuai dengan tunanetra. Lowenfeld mengemukakan tiga prinsip metoda khusus untuk membantu mengatasi keterbatasan akibat ketunanetraan:

a. Membutuhkan Pengalaman Nyata.

Guru perlu memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempelajari lingkungannya melalui eksplorasi perabaan tentang situasi dan benda-benda yang ada di sekitarnya selain melalui indera-indera yang lainnya. Bagi siswa yang masih mempunyai sisa penglihatan (low vision), aktifitas seperti itu merupakan tambahan dari eksplorasi visual yang dilakukan. Kalau benda-benda nyata tidak tersedia, bisa dipergunakan model.

b. Membutuhkan Pengalaman Menyatukan .

Karena ketunanetraan menimbulkan keterbatasan kemampuan untuk melihat keseluruhan dari suatu benda atau kejadian, guru hendaknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk menyatukan bagian-bagian menjadi satu kesatuan yang utuh. Mempegunakan pembelajaran gabungan, dimana siswa belajar menghubungkan antara mata pelajaran akademis dengan pengalaman kehidupan nyata, merupakan suatu cara yang bagus untuk memberikan pengalaman menyatukan.

c. Membutuhkan Belajar sambil Bekerja.

Guru hendaknya memberi kesempatan kepada siswa tunanetra untuk mempelajari suatu keterampilan dengan melakukan dan mempraktekan keterampilan tersebut. Banyak bidang yang terdapat dalam kurikulum inti yang diperluas, misalnya orientasi dan mobilitas, dapat diperlajari dengan mudah oleh tunanetra apabila mempergunakan pendekatan belajar sambil bekerja ini.

Semua siswa, apakah dia tunanetra atau bukan, akan mendapatkan keuntungan dari pembelajaran yang berdasar pada tiga prinsip metoda khusus tersebut, dan mempergunakan metoda pembelajaran seperti itu dapat membantu siswa untuk belajar membuat suatu konsep dari suatu pola umum.

SUMBER BACAAN

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Identifikasi Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan Inklusif, diambil dari http://www.ditplb.or.id/ new/index. php?menu= profile&pro=52

Eko, D., S. (2006). Development of Special Education in Indonesia, 9th International Symposium of ASAPE, Dit. PSLB, Jakarta.

Friend, M. (2005). Special Education, Contemporary Perspectives for School Professionals, United States of America: Pearson Education Inc.

Friend, M., & Bursuck, S.D. (2002). Including students with special needs: A practical guide for classroom teachers (3rd ed.). Boston: Allyn & Bacon.

Gargiulo, R.M., (2006). Special Education In Contemporary Society, An Introduction to Exceptionality, second condition, Australia, Canada, Mexico, Singapore, Spain, United Kingdom, United States: Thomson Wadsworth.

Hallahan, D.P., and Kauffman, J. (2000). Exceptional Learners (8th edn.), Boston, MA: Allyn and Bacon.

Jenkins, J.R., Antil, L.R., Wayne, S.K., & Vadasy, P.F. (2003). How cooperative learning works for special education and remedial students. Exceptional Children, 69, 279-292.

McLean, M., Wolery, M., & Bailey, D.B. (2004). Assessing infants and preschoolers with special needs (3rd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Education.

Nakata, H. (2003). 2003 Educational Cooperation Bases System Construction Project, Implementation Report, Center for Research on International Cooperation in Educational Development (CRICED), University of Tsukuba, Japan.

Polloway, E., Patton, J., & Serna, L. (2001). Strategies for teaching learners withspecial needs (7th ed.), Upper Saddle River, NJ: Merrill/Prentice Hall.

Rosenshine, B., & Stevens, R. (1986). Teaching functions. In M.C. Wittrock (Ed.), Handbook of research on teaching (3rd ed., pp. 376-391). New York: Macmillan.